Rabu, 02 Desember 2015

Dampak Relaksasi Mata Uang China Dan Malaysia Terhadap Ekonomi Indonesia



Dampak Relaksasi Mata Uang China Yuan
Dan Malaysia Ringgit Terhadap
                                   Perekonomian Indonesia

Seberapa besar kemungkinan penguatan mata uang China Yuan dan Malaysia Ringgit dan apa dampaknya terhadap perekonomian Indonesia, terutama nilai tukar Rupiah, PDB, dan inflasi. Melalui simulasi REER, Yuan berpotensi menguat 4% dan Ringgit 7%. Jika diasumsikan kurs nominal Rupiah turut menguat 2% melalui dampak rambatan regional dan perubahan kondisi supply-demand valas, maka nilai tukar riil Rupiah diperkirakan meningkat sehingga menurunkan daya saing produk ekspor Indonesia. Kondisi tersebut akan menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2005 sebesar 0.24 percentage point. Sementara itu apresiasi kurs nominal Rupiah diperkirakan menurunkan inflasi 2005 sebesar 0,87 percentage point dari skenario baseline. Tekanan inflasi yang masih cukup tinggi serta pertumbuhan produktivitas yang lambat, merupakan faktor penghambat bagi Indonesia untuk memanfaatkan peluang meningkatkan penetrasi di pasar global menyusul penurunan daya saing perdagangan luar negeri China dan Malaysia. Oleh karena itu, efektivitas kebijakan moneter dan koordinasi dengan kebijakan fiskal dan sektoral untuk menurunkan ekspektasi inflasi, merupakan faktor penting untuk mendongkrak daya saing produk ekspor Indonesia. Ekspektasi inflasi yang lebih rendah akan memberi ruang gerak untuk peningkatan investasi yang selanjutnya akan mendorong peningkatan produktivitas.

Isu ketidakseimbangan ekonomi global (global imbalance) akhir-akhir ini telah menjadi topik pembicaraan yang hangat diantara para pelaku ekonomi (negara). Global imbalance ini dipicu oleh semakin membengkaknya twin deficit, yaitu defisit neraca perdagangan dan defisit fiskal Amerika Serikat. Secara kumulatif hingga November 2004 defisit perdagangan AS mencapai USD 596 miliar, sementara defisit anggaran belanjanya mencapai USD 413 miliar. Neraca perdagangan AS yang terus mengalami defisit ini disebabkan karena banyaknya perusahaan multinasional AS yang membuka sentra-sentra produksinya di luar AS dan lemahnya permintaan negara-negara lain terhadap barang-barang produksi AS. Sedangkan defisit fiskalnya lebih disebabkan karena pemerintah yang boros untuk membiayai perang, sedangkan tingkat tabungan dalam negeri sangat rendah.

Sebagai ilustrasi, defisit perdagangan AS dengan China di tahun 2002 sebesar USD 103 miliar, di tahun 2003 meningkat menjadi USD 124 miliar, dan di tahun 2004 defisit tersebut diperkirakan meningkat menjadi USD 158 miliar. Defisit perdagangan AS tersebut ditutupi oleh dana investor, terutama dari Asia, dengan membeli surat-surat berharga (treasury notes), obligasi, saham-saham perusahaan AS, dan aset-aset finansial lainnya. Apabila kemauan negara-negara asing untuk membiaya defisit neraca perdagangan menurun, maka mata uang Dollar AS akan semakin melemah. Langkah-langkah yang diajukan untuk mengurangi fenomena ini adalah (i) menerapkan disiplin fiskal AS (agar tidak boros), (ii) menambah tabungan dalam negeri AS, dan (iii) meminta negara-negara partner dagang utama AS untuk mengadopsi sistem nilai tukar yang lebih fleksibel. Dengan menganut sistem nilai tukar yang lebih fleksibel, diharapkan nilai tukar Dolar AS akan melemah, sehingga ekspor AS meningkat, impor AS menurun, dengan demikian deficit perdagangan akan membaik (defisit mengecil). Sementara itu, Negara partner dagang yang saat ini menganut sistem nilai tukar tetap, diantaranya China dan Malaysia, akan merevaluasi mata uangnya sehingga akan berdampak pada penurunan ekspor yang pada gilirannya akan mengurangi pertumbuhan ekonominya. Tentunya China dan Malaysia akan ‘berhitung’ untung ruginya jika merevaluasi mata uangnya.

Kemungkinan besar penguatan nilai tukar Yuan dan Ringgit dapat dievaluasi dengan pendekatan jangka pendek dan fundamental jangka panjang. Dalam jangka pendek peluang penguatan Yuan dan Ringgit dapat diperkirakan dari Uncovered Interest Parity (UIP). Sementara peluang penguatan dalam jangka yang lebih panjang dapat diperkirakan secara fundamental dengan pendekatan nilai tukar riil, yaitu Purchasing Power Parity (PPP), Real Efective Exchange Rate (REER), Bilateral Real Exchange Rate (BRER), dan pendekatan perbedaan produktivitas antara China dan Malaysia dengan AS. Dampak apresiasi Yuan dan Ringgit terhadap nilai tukar nominal Rupiah dapat dianalisis melalui tiga jalur lainnya, yaitu melalui (i) dampak rambatan regional (spillover effect), (ii) perubahan kondisi permintaan valas di pasar domestik dan (iii) perubahan aliran dana asing.
(i) Dampak rambatan regional (spillover effect).
Apakah apresiasi Ringgit atau Yuan akan diikuti oleh apresiasi mata uang negara Asia lainnya melalui dampak rambatan (spillover effect)? Secara fundamental, dampak rambatan yang bersifat ekspektasi ini dapat terjadi melalui jalur perdagangan internasional, baik perdagangan bilateral maupun kompetisi perdagangan di pasar ketiga, dan jalur finansial. Selain jalur fundamental, dampak rambatan dapat terjadi melalui perilaku herding yang dilatarbelakangi adanya asymmetric information pada investor. Jalur ini umumnya terjadi pada krisis keuangan yang bercirikan depresiasi tajam nilai tukar dimana terjadinya krisis cenderung sulit diprediksi. Pada kasus revaluasi Yuan dan Ringgit, jalur yang diperkirakan dominan adalah jalur perdagangan mengingat perubahan kebijakan ini berlatar belakang tingkat kompetisi perdagangan global yang dinilai tidak adil. Di samping itu kebijakan tersebut sudah diantisipasi sebelumnya sehingga pelaku pasar diperkirakan sudah memiliki informasi yang cukup.
a. Jalur perdagangan bilateral.
Shocks lokal yang terjadi di China dan Malaysia, yaitu kebijakan revaluasi Yuan dan Ringgit, dapat mempengaruhi fundamental ekonomi negara lain melalui jalur perdagangan, yaitu perdagangan bilateral dan kompetisi perdagangan di pasar ketiga. Pada jalur perdagangan bilateral, jika mata uang China dan Malaysia mengalami revaluasi/apreasiasi, maka negara-negara mitra dagang utama China dan Malaysia, misalnya Jepang, akan mengalami kenaikan harga aset dan capital inflow. Hal itu terjadi karena karena investor mempunyai ekspektasi akan terjadi kenaikan volume ekspor Jepang ke China dan Malaysia, sehingga memperbaiki neraca perdagangan Jepang. Akibatnya nilai tukar Yen menguat terhadap Dollar AS. Selanjutnya, apakah penguatan Yen akan merambat ke penguatan Rupiah? Mengingat Jepang adalah negara mitra dagang utama Indonesia selain AS, maka dengan penguatan nilai tukar Yen pelaku pasar keuangan akan mengekspektasikan perbaikan neraca perdagangan bilateral Indonesia terhadap Jepang. Hal ini mendorong aliran modal masuk ke Indonesia dan kenaikan harga aset termasuk apresiasi nilai tukar Rupiah.
b. Jalur kompetisi perdagangan di pasar ketiga
Kebijakan China dan Malaysia merevaluasi atau mengapresiasi nilai tukarnya akan memperlemah daya saing perdagangan luar negeri Negara tersebut. Akibatnya, negara-negara pesaing China dan Malaysia di pasar ketiga dunia, misalnya di pasar Amerika dan Eropa, justru mengalami peningkatan daya saing. Negara-negara kompetitor tersebut, termasuk Indonesia, cenderung menginginkan daya saing nilai tukarnya tetap terjaga tanpa harus mengalami depresiasi.

Dalam kasus ini pemain pasar akan berekpektasi bahwa kebijakan revaluasi Yuan dan Ringgit kecil kemungkinannya akan memicu langkah “competitive devaluation” pada negara-negara pesaing dagang China dan Malaysia. Bahkan sebaliknya, terdapat ruang bagi Indonesia untuk tetap mengalami daya saing yang meningkat terhadap China dan Malaysia jika Indonesia membiarkan Rupiah terapresiasi dalam persentasi yang lebih kecil dibandingkan apresiasi Yuan dan Ringgit. Akibatnya para pelaku pasar keuangan tidak memiliki insentif untuk melepas kepemilikan portofolio asset Rupiah, membatasi hutang luar negeri, atau menghentikan perpanjangan hutang luar negeri jangka pendek kepada debitur Indonesia. Artinya, external shocks kebijakan revaluasi tersebut diperkirakan tidak mendorong capital outflow atau mengurangi capital inflow sehingga tidak membawa tekanan depresiasi nilai tukar Rupiah.
(ii) Perubahan kondisi permintaan valas di pasar domestik
Apresiasi Yuan dan Ringgit dapat menaikkan harga barang ekspor China dan Malaysia dalam dolar AS sehingga menambah kebutuhan dolar di pasar valas domestik untuk memenuhi kebutuhan impor barang dari Malaysia dan China. Kenaikan permintaan dolar tersebut dipengaruhi oleh elastisitas permintaan terhadap harga untuk produk China dan Malaysia dan volume perdagangan bilateral Indonesia dengan kedua negara tersebut.
Untuk kasus China, elastisitas permintaan terhadap harga diperkirakan rendah, karena harga barang impor dari China yang pada umumnya cukup murah, dan pangsa impor dari China menempati urutan kelima terbesar. Karenanya, kenaikan harga produk ekspor China dalam jangka pendek dapat menambah tekanan permintaan valas sehingga mendorong depresiasi. Namun dengan penurunan harga bahan baku impor dan pertumbuhan produktivitas yang meningkat, dalam jangka menengah produsen barang ekspor China diperkirakan dapat melakukan penyesuaian harga ekspor ke tingkat yang lebih kompetitif, sehingga mengurangi tekanan permintaan valas di pasar domestic Indonesia. Untuk kasus apresiasi Ringgit, pengaruhnya terhadap kondisi permintaan valas di pasar domestik Indonesia diperkirakan rendah karena tidak banyaknya porsi produk Malaysia dalam keranjang impor Indonesia.
iii. Perubahan aliran modal asing
Apakah kebijakan revaluasi akan meningkatkan aliran dana asing ke China dan Malaysia sehingga mengurangi aliran dana asing dalam dolar AS ke Indonesia atau mendorong aliran dana keluar dari Indonesia, yang selanjutnya menekan kurs Rupiah terhadap dolar AS?
 Potensi aliran masuk dana asing ke China dan Malaysia, diperkirakan terjadi sebelum pelaksanaan kebijakan tersebut dengan motif spekulasi untuk mendapatkan capital gain setelah perubahan kebijakan. Pasca perubahan kebijakan tersebut, pertumbuhan aliran masuk dana asing ke kedua Negara tersebut diperkirakan kecil, yang dipengaruhi oleh dua faktor yaitu prospek nilai tukar Yuan dan Ringgit dan prospek suku bunga China dan Malaysia. Dari faktor prospek nilai tukar, hal itu dipengaruhi oleh sistem nilai tukar yang akan dianut. Jika Malaysia tetap menganut sistem nilai tukar yang ditambatkan terhadap dolar AS, pada dasarnya tidak ada peluang capital gain dari pelepasan dolar AS untuk penempatan pada asset berdenominasi Ringgit. Namun peluang capital gain tetap ada pada aliran modal asing non dolar AS.
Sementara itu nilai tukar Yuan masih dapat terapresiasi karena China diasumsikan akan menambatkan nilai tukarnya terhadap sejumlah mata uang (basket currencies), dan dilepas dalam suatu band yang sempit. Namun dengan band yang sempit pergerakan apreasi Yuan menjadi terbatas, sehingga potensi capital gain dari pelepasan dolar AS untuk penempatan pada asset berdenominasi Yuan, diperkirakan tidak besar.
Ditinjau dari faktor prospek suku bunga, one-time shock apreasiasi Yuan dan Ringgit, yang selanjutnya diikuti dengan pergerakan nilai tukar  yang stabil, akan berefek positif bagi prospek inflasi China dan Malaysia. Untuk kondisi China, indikasi arah kebijakan moneter yang belum mengetat, tercermin dari target pertumbuhan M2. Meskipun pertumbuhan ekonomi China 2005 diperkirakan tetap tinggi, Komite Kebijakan Moneter Bank Sentral China (PBC) mentargetkan pertumbuhan M2 15% pada 2005, kurang lebih sama dengan pertumbuhan aktual pada Desember 200412. Sebelumnya China telah menaikkan suku bunga pada Oktober 2004 antara lain sebagai respon terhadap meningkatnya inflasi sejak Juli 2004. Dengan perkembangan inflasi yang mulai
turun sejak November 2004, proyeksi “consensus forecast” 2005, dan arah kebijakan moneter PBC tersebut, diperkirakan suku bunga relatif stabil. Sebagai dampaknya, di tengah tren kenaikan suku bunga AS, perbedaan suku bunga kedua negara itu dengan suku bunga AS diperkirakan cenderung berkurang. Sebaliknya suku bunga Indonesia diperkirakan meningkat menyusul prospek kenaikan inflasi yang dipicu oleh kenaikan harga bensin dan solar. Dengan demikian, ditinjau dari faktor perbedaan dengan suku bunga AS, secara keseluruhan kondisi tersebut tidak menambah insentif aliran masuk modal asing ke China dan Malaysia dan aliran modal keluar dari Indonesia.
Dari analisis di atas, penguatan Yuan dan Ringgit diperkirakan akan diikuti oleh penguatan Rupiah dengan intensitas penguatan yang lebih rendah. Dalam hal ini diasumsikan Rupiah akan terapresiasi sebesar 2%.

Terhadap PDB dan Inflasi. Dari simulasi dengan MODBI, pengaruh apresiasi kurs nominal Rupiah sebesar 2% akan mengurangi pertumbuhan ekspor riil sehingga mengurangi pertumbuhan ekonomi sebesar 0.24 percentage point. Penurunan pertumbuhan pendapatan berdampak pada penurunan konsumsi. Selanjutnya penurunan pertumbuhan permintaan domestik dan eksternal berdampak pada penurunan pertumbuhan impor. Di sisi lain apresiasi Rupiah 2% diperkirakan mengurangi tekanan inflasi IHK sebesar 0.87 percentage point karena pengaruh penurunan harga barang impor dan permintaan agregat terhadap deflator konsumsi.

Terhadap nilai tukar riil Rupiah. Untuk mengetahui indeks REER Indonesia terhadap sejumlah mata uang mitra dagang, telah tersedia worksheet basket currencies yang terdiri dari 5 mata uang, yaitu China Yuan, Korean Won, Singapore Dolar, Thailand Baht, dan Japan Yen. Sementara, untuk mengevaluasi dampak Malaysia Ringgit terhadap Indonesia Rupiah, maka dalam keranjang mata uang (basket currencies) perlu ditambahkan Malaysia Ringgit dengan perhitungan seperti prosedur di atas. Dengan demikian, dalam keranjang mata uang bobot negara-negara mitra dagang Indonesia menjadi sbb. :

Bobot Negara Mitra Dagang
             Negara                                                                                                                 Bobot
Japan                                                                                                                       30.97
US                                                                                                                            18.80
Singapore                                                                                                                14.78
Korea                                                                                                                         9.51
China                                                                                                                         7.42
Taiwan                                                                                                                      5.47
German                                                                                                                      5.62
UK                                                                                                                             3.45
Malaysia                                                                                                                    3.98
Total                                                                                                                        100.00



Untuk menghitung nilai tukar riil Rupiah, perlu ditetapkan asumsi perubahan indeks harga relatif antara China dan Malaysia dengan Indonesia. Skenario harga relatif tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi prospek inflasi di kedua negara. Dalam jangka yang lebih panjang, indeks harga relatif juga dipengaruhi oleh perbedaan potensi pertumbuhan produktivitas di kedua negara tersebut.

Prospek inflasi Malaysia dalam jangka pendek diperkirakan menurun sejalan dengan penguatan Ringgit. Tekanan inflasi dari sisi permintaan dapat terkendali. Sementara itu harga minyak diperkirakan tidak menambah tekanan inflasi karena sudah berada pada tingkat yang tinggi dan perubahan harga minyak mentah dunia telah terfleksikan dalam perkembangan inflasi karena negara itu menerapkan sistem harga bahan bakar yang floating. Dari sisi biaya material, apresiasi Ringgit diperkirakan melonggarkan tekanan inflasi karena menambah efisiensi biaya bahan baku impor. Sekitar 58% produk ekspor merupakan produk berteknologi tinggi yang diperkirakan memiliki kandungan impor tinggi. Dengan asumsi belum terjadi perubahan kebijakan nilai tukar, proyeksi ”consensus forecast” memperkirakan inflasi China 2005 3,4%. Proyeksi itu lebih tinggi dibandingkan inflasi 2004 sebesar 2,4% yang cukup rendah karena pengaruh turunnya harga makanan. Tekanan inflasi ke depan diperkirakan berasal dari tren kenaikan upah dan ekspektasi inflasi. Oleh karena itu apresiasi Yuan diperkirakan mengurangi tekanan inflasi 2005.

Sebaliknya inflasi Indonesia diperkirakan meningkat pada 2005 sejalan dengan kenaikan harga bahan bakar minyak dan kenaikan ekspektasi inflasi yang menyertainya. Pengaruh apresiasi Rupiah terhadap harga domestik, termasuk harga produk ekspor, diperkirakan tidak sebesar dampaknya pada tingkat harga di Malaysia dan China. Untuk perbandingan dengan Malaysia, hal itu disebabkan tiga faktor. Pertama, apresiasi Rupiah terhadap dolar AS diperkirakan tidak sebesar apresiasi Ringgit terhadap dolar AS. Kedua, efek kekakuan asimetris apresiasi nilai tukar di Indonesia diperkirakan lebih kuat dibandingkan di Malaysia. Hal ini terkait dengan volatilitas nilai tukar Rupiah yang diperkirakan lebih tinggi dibandingkan volatilitas nilai tukar Ringgit pasca revaluasi.

Ketiga, produk ekspor Indonesia didominasi oleh produk berbasis sumber daya alam yang memiliki kandungan impor bahan baku yang relative rendah, sehingga dampak apresiasi terhadap biaya material produk ekspor lebih kecil dibandingkan yang akan terjadi di Malaysia. Ketiga faktor tersebut juga mempengaruhi lebih besarnya dampak apresiasi Yuan terhadap penurunan inflasi dibandingkan dampak penurunan inflasi dari apresiasi Rupiah.

Produktivitas merupakan faktor utama yang mempengaruhi daya saing perdagangan global suatu negara secara berkelanjutan. Semakin besar kontribusi produktivitas terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, semakin kecil dampak akselerasi pertumbuhan ekonomi terhadap inflasi. Perbandingan level dan pertumbuhan produktivitas ketiga Negara tersebut terlihat dari gambar 2 dan 3 yang dihitung berdasarkan rasio PDB per pekerja dalam dolar AS menggunakan tahun dasar 1990. Produktivitas China sebelum krisis nilai tukar Asia masih 60% di bawah produktivitas Indonesia. Namun produktivitas negara itu tumbuh lebih tinggi dibandingkan produktivitas Indonesia, bahkan mengalami akselerasi pertumbuhan pasca 1997. Sebaliknya produktivitas Indonesia, yang mengalami penurunan pada periode krisis, mulai meningkat kembali namun dengan laju pertumbuhan yang lebih lambat. Akibatnya, pada 2003 produktivitas China sudah menyamai produktivitas Indonesia. Jika tren ini berlanjut, ke depan produktivitas Indonesia akan tertinggal dibanding produktivitas negara berpenduduk terbesar di dunia tersebut.









DAFTAR PUSAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar