Dampak Relaksasi Mata
Uang China Yuan
Dan Malaysia Ringgit
Terhadap
Perekonomian Indonesia
Seberapa besar
kemungkinan penguatan mata uang China Yuan dan Malaysia Ringgit dan apa
dampaknya terhadap perekonomian Indonesia, terutama nilai tukar Rupiah, PDB,
dan inflasi. Melalui simulasi REER, Yuan berpotensi menguat 4% dan Ringgit 7%.
Jika diasumsikan kurs nominal Rupiah turut menguat 2% melalui dampak rambatan
regional dan perubahan kondisi supply-demand valas, maka nilai tukar riil
Rupiah diperkirakan meningkat sehingga menurunkan daya saing produk ekspor
Indonesia. Kondisi tersebut akan menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2005
sebesar 0.24 percentage point. Sementara itu apresiasi kurs nominal Rupiah diperkirakan
menurunkan inflasi 2005 sebesar 0,87 percentage point dari skenario baseline. Tekanan
inflasi yang masih cukup tinggi serta pertumbuhan produktivitas yang lambat,
merupakan faktor penghambat bagi Indonesia untuk memanfaatkan peluang meningkatkan
penetrasi di pasar global menyusul penurunan daya saing perdagangan luar negeri
China dan Malaysia. Oleh karena itu, efektivitas kebijakan moneter dan
koordinasi dengan kebijakan fiskal dan sektoral untuk menurunkan ekspektasi
inflasi, merupakan faktor penting untuk mendongkrak daya saing produk ekspor
Indonesia. Ekspektasi inflasi yang lebih rendah akan memberi ruang gerak untuk peningkatan
investasi yang selanjutnya akan mendorong peningkatan produktivitas.
Isu ketidakseimbangan ekonomi global (global
imbalance) akhir-akhir ini telah menjadi topik pembicaraan yang hangat
diantara para pelaku ekonomi (negara). Global imbalance ini dipicu oleh
semakin membengkaknya twin deficit, yaitu defisit neraca perdagangan dan
defisit fiskal Amerika Serikat. Secara kumulatif hingga November 2004 defisit
perdagangan AS mencapai USD 596 miliar, sementara defisit anggaran belanjanya
mencapai USD 413 miliar. Neraca perdagangan AS yang terus mengalami defisit ini
disebabkan karena banyaknya perusahaan multinasional AS yang membuka
sentra-sentra produksinya di luar AS dan lemahnya permintaan negara-negara lain
terhadap barang-barang produksi AS. Sedangkan defisit fiskalnya lebih
disebabkan karena pemerintah yang boros untuk membiayai perang, sedangkan
tingkat tabungan dalam negeri sangat rendah.
Sebagai ilustrasi, defisit perdagangan AS dengan
China di tahun 2002 sebesar USD 103 miliar, di tahun 2003 meningkat menjadi USD
124 miliar, dan di tahun 2004 defisit tersebut diperkirakan meningkat menjadi
USD 158 miliar. Defisit perdagangan AS tersebut ditutupi oleh dana investor,
terutama dari Asia, dengan membeli surat-surat berharga (treasury notes),
obligasi, saham-saham perusahaan AS, dan aset-aset finansial lainnya. Apabila
kemauan negara-negara asing untuk membiaya defisit neraca perdagangan menurun,
maka mata uang Dollar AS akan semakin melemah. Langkah-langkah yang diajukan
untuk mengurangi fenomena ini adalah (i) menerapkan disiplin fiskal AS (agar
tidak boros), (ii) menambah tabungan dalam negeri AS, dan (iii) meminta negara-negara
partner dagang utama AS untuk mengadopsi sistem nilai tukar yang lebih
fleksibel. Dengan menganut sistem nilai tukar yang lebih fleksibel, diharapkan
nilai tukar Dolar AS akan melemah, sehingga ekspor AS meningkat, impor AS
menurun, dengan demikian deficit perdagangan akan membaik (defisit mengecil).
Sementara itu, Negara partner dagang yang saat ini menganut sistem nilai tukar
tetap, diantaranya China dan Malaysia, akan merevaluasi mata uangnya sehingga
akan berdampak pada penurunan ekspor yang pada gilirannya akan mengurangi
pertumbuhan ekonominya. Tentunya China dan Malaysia akan ‘berhitung’ untung
ruginya jika merevaluasi mata
uangnya.
Kemungkinan besar penguatan nilai tukar Yuan dan
Ringgit dapat dievaluasi dengan pendekatan jangka pendek dan fundamental jangka
panjang. Dalam jangka pendek peluang penguatan Yuan dan Ringgit dapat
diperkirakan dari Uncovered Interest Parity (UIP). Sementara peluang
penguatan dalam jangka yang lebih panjang dapat diperkirakan secara fundamental
dengan pendekatan nilai tukar riil, yaitu Purchasing Power Parity (PPP),
Real Efective Exchange Rate (REER), Bilateral Real Exchange Rate (BRER),
dan pendekatan perbedaan produktivitas antara China dan Malaysia dengan AS. Dampak
apresiasi Yuan dan Ringgit terhadap nilai tukar nominal Rupiah dapat dianalisis
melalui tiga jalur lainnya, yaitu melalui (i) dampak rambatan regional (spillover
effect), (ii) perubahan kondisi permintaan valas di pasar domestik dan
(iii) perubahan aliran dana asing.
(i)
Dampak rambatan regional (spillover effect).
Apakah apresiasi Ringgit atau Yuan akan diikuti oleh
apresiasi mata uang negara Asia lainnya melalui dampak rambatan (spillover
effect)? Secara fundamental, dampak rambatan yang bersifat ekspektasi ini
dapat terjadi melalui jalur perdagangan internasional, baik perdagangan
bilateral maupun kompetisi perdagangan di pasar ketiga, dan jalur finansial.
Selain jalur fundamental, dampak rambatan dapat terjadi melalui perilaku herding
yang dilatarbelakangi adanya asymmetric information pada investor.
Jalur ini umumnya terjadi pada krisis keuangan yang bercirikan depresiasi tajam
nilai tukar dimana terjadinya krisis cenderung sulit diprediksi. Pada kasus
revaluasi Yuan dan Ringgit, jalur yang diperkirakan dominan adalah jalur
perdagangan mengingat perubahan kebijakan ini berlatar belakang tingkat
kompetisi perdagangan global yang dinilai tidak adil. Di samping itu kebijakan
tersebut sudah diantisipasi sebelumnya sehingga pelaku pasar diperkirakan sudah
memiliki informasi yang cukup.
a. Jalur perdagangan
bilateral.
Shocks
lokal yang terjadi di China dan Malaysia, yaitu kebijakan revaluasi Yuan dan
Ringgit, dapat mempengaruhi fundamental ekonomi negara lain melalui jalur perdagangan,
yaitu perdagangan bilateral dan kompetisi perdagangan di pasar ketiga. Pada
jalur perdagangan bilateral, jika mata uang China dan Malaysia mengalami
revaluasi/apreasiasi, maka negara-negara mitra dagang utama China dan Malaysia,
misalnya Jepang, akan mengalami kenaikan harga aset dan capital inflow.
Hal itu terjadi karena karena investor mempunyai ekspektasi akan terjadi
kenaikan volume ekspor Jepang ke China dan Malaysia, sehingga memperbaiki
neraca perdagangan Jepang. Akibatnya nilai tukar Yen menguat terhadap Dollar
AS. Selanjutnya, apakah penguatan Yen akan merambat ke penguatan Rupiah?
Mengingat Jepang adalah negara mitra dagang utama Indonesia selain AS, maka
dengan penguatan nilai tukar Yen pelaku pasar keuangan akan mengekspektasikan
perbaikan neraca perdagangan bilateral Indonesia terhadap Jepang. Hal ini
mendorong aliran modal masuk ke Indonesia dan kenaikan harga aset termasuk
apresiasi nilai tukar Rupiah.
b. Jalur kompetisi
perdagangan di pasar ketiga
Kebijakan
China dan Malaysia merevaluasi atau mengapresiasi nilai tukarnya akan
memperlemah daya saing perdagangan luar negeri Negara tersebut. Akibatnya,
negara-negara pesaing China dan Malaysia di pasar ketiga dunia, misalnya di
pasar Amerika dan Eropa, justru mengalami peningkatan daya saing. Negara-negara
kompetitor tersebut, termasuk Indonesia, cenderung menginginkan daya saing
nilai tukarnya tetap terjaga tanpa harus mengalami depresiasi.
Dalam
kasus ini pemain pasar akan berekpektasi bahwa kebijakan revaluasi Yuan dan
Ringgit kecil kemungkinannya akan memicu langkah “competitive devaluation” pada
negara-negara pesaing dagang China dan Malaysia. Bahkan sebaliknya, terdapat ruang
bagi Indonesia untuk tetap mengalami daya saing yang meningkat terhadap China
dan Malaysia jika Indonesia membiarkan Rupiah terapresiasi dalam persentasi
yang lebih kecil dibandingkan apresiasi Yuan dan Ringgit. Akibatnya para pelaku
pasar keuangan tidak memiliki insentif untuk melepas kepemilikan portofolio
asset Rupiah, membatasi hutang luar negeri, atau menghentikan perpanjangan
hutang luar negeri jangka pendek kepada debitur Indonesia. Artinya, external
shocks kebijakan revaluasi tersebut diperkirakan tidak mendorong capital
outflow atau mengurangi capital inflow sehingga tidak membawa
tekanan depresiasi nilai tukar Rupiah.
(ii)
Perubahan kondisi permintaan valas di pasar domestik
Apresiasi Yuan dan Ringgit dapat menaikkan harga
barang ekspor China dan Malaysia dalam dolar AS sehingga menambah kebutuhan
dolar di pasar valas domestik untuk memenuhi kebutuhan impor barang dari
Malaysia dan China. Kenaikan permintaan dolar tersebut dipengaruhi oleh
elastisitas permintaan terhadap harga untuk produk China dan Malaysia dan
volume perdagangan bilateral Indonesia dengan kedua negara tersebut.
Untuk kasus China, elastisitas permintaan terhadap
harga diperkirakan rendah, karena harga barang impor dari China yang pada umumnya
cukup murah, dan pangsa impor dari China menempati urutan kelima terbesar. Karenanya,
kenaikan harga produk ekspor China dalam jangka pendek dapat menambah tekanan
permintaan valas sehingga mendorong depresiasi. Namun dengan penurunan harga
bahan baku impor dan pertumbuhan produktivitas yang meningkat, dalam jangka
menengah produsen barang ekspor China diperkirakan dapat melakukan penyesuaian
harga ekspor ke tingkat yang lebih kompetitif, sehingga mengurangi tekanan permintaan
valas di pasar domestic Indonesia. Untuk kasus apresiasi Ringgit, pengaruhnya
terhadap kondisi permintaan valas di pasar domestik Indonesia diperkirakan
rendah karena tidak banyaknya porsi produk Malaysia dalam keranjang impor
Indonesia.
iii.
Perubahan aliran modal asing
Apakah kebijakan revaluasi akan meningkatkan aliran
dana asing ke China dan Malaysia sehingga mengurangi aliran dana asing dalam
dolar AS ke Indonesia atau mendorong aliran dana keluar dari Indonesia, yang
selanjutnya menekan kurs Rupiah terhadap dolar AS?
Potensi
aliran masuk dana asing ke China dan Malaysia, diperkirakan terjadi sebelum
pelaksanaan kebijakan tersebut dengan motif spekulasi untuk mendapatkan capital
gain setelah perubahan kebijakan. Pasca perubahan kebijakan tersebut,
pertumbuhan aliran masuk dana asing ke kedua Negara tersebut diperkirakan
kecil, yang dipengaruhi oleh dua faktor yaitu prospek nilai tukar Yuan dan
Ringgit dan prospek suku bunga China dan Malaysia. Dari faktor prospek nilai
tukar, hal itu dipengaruhi oleh sistem nilai tukar yang akan dianut. Jika
Malaysia tetap menganut sistem nilai tukar yang ditambatkan terhadap dolar AS,
pada dasarnya tidak ada peluang capital gain dari pelepasan dolar AS
untuk penempatan pada asset berdenominasi Ringgit. Namun peluang capital
gain tetap ada pada aliran modal asing non dolar AS.
Sementara itu nilai tukar Yuan masih dapat
terapresiasi karena China diasumsikan akan menambatkan nilai tukarnya terhadap
sejumlah mata uang (basket currencies), dan dilepas dalam suatu band
yang sempit. Namun dengan band yang sempit pergerakan apreasi Yuan menjadi
terbatas, sehingga potensi capital gain dari pelepasan dolar AS untuk
penempatan pada asset berdenominasi Yuan, diperkirakan tidak besar.
Ditinjau dari faktor prospek suku bunga, one-time
shock apreasiasi Yuan dan Ringgit, yang selanjutnya diikuti dengan
pergerakan nilai tukar yang stabil, akan
berefek positif bagi prospek inflasi China dan Malaysia. Untuk kondisi China,
indikasi arah kebijakan moneter yang belum mengetat, tercermin dari target
pertumbuhan M2. Meskipun pertumbuhan ekonomi China 2005 diperkirakan tetap
tinggi, Komite Kebijakan Moneter Bank Sentral China (PBC) mentargetkan
pertumbuhan M2 15% pada 2005, kurang lebih sama dengan pertumbuhan aktual pada
Desember 200412. Sebelumnya China telah menaikkan suku bunga pada Oktober 2004
antara lain sebagai respon terhadap meningkatnya inflasi sejak Juli 2004.
Dengan perkembangan inflasi yang mulai
turun
sejak November 2004, proyeksi “consensus forecast” 2005, dan arah kebijakan
moneter PBC tersebut, diperkirakan suku bunga relatif stabil. Sebagai dampaknya,
di tengah tren kenaikan suku bunga AS, perbedaan suku bunga kedua negara itu
dengan suku bunga AS diperkirakan cenderung berkurang. Sebaliknya suku bunga
Indonesia diperkirakan meningkat menyusul prospek kenaikan inflasi yang dipicu
oleh kenaikan harga bensin dan solar. Dengan demikian, ditinjau dari faktor
perbedaan dengan suku bunga AS, secara keseluruhan kondisi tersebut tidak
menambah insentif aliran masuk modal asing ke China dan Malaysia dan aliran
modal keluar dari Indonesia.
Dari analisis di atas, penguatan Yuan dan Ringgit
diperkirakan akan diikuti oleh penguatan Rupiah dengan intensitas penguatan
yang lebih rendah. Dalam hal ini diasumsikan Rupiah akan terapresiasi sebesar
2%.
Terhadap PDB dan Inflasi. Dari
simulasi dengan MODBI, pengaruh apresiasi kurs nominal Rupiah sebesar 2% akan mengurangi
pertumbuhan ekspor riil sehingga mengurangi pertumbuhan ekonomi sebesar 0.24 percentage point.
Penurunan pertumbuhan pendapatan
berdampak pada penurunan konsumsi. Selanjutnya penurunan pertumbuhan permintaan domestik dan eksternal berdampak pada
penurunan pertumbuhan impor. Di
sisi lain apresiasi Rupiah 2% diperkirakan mengurangi tekanan inflasi IHK sebesar 0.87 percentage point karena
pengaruh penurunan harga barang
impor dan permintaan agregat terhadap deflator konsumsi.
Terhadap nilai tukar riil
Rupiah. Untuk
mengetahui indeks REER Indonesia terhadap sejumlah mata uang mitra dagang, telah tersedia
worksheet basket currencies yang terdiri dari 5 mata uang, yaitu China Yuan, Korean Won,
Singapore Dolar, Thailand Baht, dan Japan
Yen. Sementara, untuk mengevaluasi dampak Malaysia Ringgit terhadap Indonesia Rupiah, maka dalam
keranjang mata uang (basket currencies) perlu ditambahkan Malaysia Ringgit dengan perhitungan seperti prosedur
di atas. Dengan demikian, dalam keranjang mata uang bobot negara-negara mitra
dagang Indonesia menjadi sbb. :
Bobot Negara Mitra
Dagang
Negara
Bobot
Japan 30.97
US 18.80
Singapore
14.78
Korea 9.51
China 7.42
Taiwan
5.47
German
5.62
UK
3.45
Malaysia
3.98
Total 100.00
Untuk
menghitung nilai tukar riil Rupiah, perlu ditetapkan asumsi perubahan indeks
harga relatif antara China dan Malaysia dengan Indonesia. Skenario harga
relatif tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi prospek
inflasi di kedua negara. Dalam jangka yang lebih panjang, indeks harga relatif
juga dipengaruhi oleh perbedaan potensi pertumbuhan produktivitas di kedua
negara tersebut.
Prospek inflasi Malaysia dalam jangka pendek
diperkirakan menurun sejalan dengan penguatan Ringgit. Tekanan inflasi dari
sisi permintaan dapat terkendali. Sementara itu harga minyak diperkirakan tidak
menambah tekanan inflasi karena sudah berada pada tingkat yang tinggi dan
perubahan harga minyak mentah dunia telah terfleksikan dalam perkembangan
inflasi karena negara itu menerapkan sistem harga bahan bakar yang floating.
Dari sisi biaya material, apresiasi Ringgit diperkirakan melonggarkan
tekanan inflasi karena menambah efisiensi biaya bahan baku impor. Sekitar 58%
produk ekspor merupakan produk berteknologi tinggi yang diperkirakan memiliki
kandungan impor tinggi. Dengan asumsi belum terjadi perubahan kebijakan nilai
tukar, proyeksi ”consensus forecast” memperkirakan inflasi China 2005
3,4%. Proyeksi itu lebih tinggi dibandingkan inflasi 2004 sebesar 2,4% yang
cukup rendah karena pengaruh turunnya harga makanan. Tekanan inflasi ke depan
diperkirakan berasal dari tren kenaikan upah dan ekspektasi inflasi. Oleh
karena itu apresiasi Yuan diperkirakan mengurangi tekanan inflasi 2005.
Sebaliknya inflasi Indonesia diperkirakan meningkat
pada 2005 sejalan dengan kenaikan harga bahan bakar minyak dan kenaikan
ekspektasi inflasi yang menyertainya. Pengaruh apresiasi Rupiah terhadap harga
domestik, termasuk harga produk ekspor, diperkirakan tidak sebesar dampaknya
pada tingkat harga di Malaysia dan China. Untuk perbandingan dengan Malaysia,
hal itu disebabkan tiga faktor. Pertama, apresiasi Rupiah terhadap dolar AS diperkirakan
tidak sebesar apresiasi Ringgit terhadap dolar AS. Kedua, efek kekakuan
asimetris apresiasi nilai tukar di Indonesia diperkirakan lebih kuat dibandingkan
di Malaysia. Hal ini terkait dengan volatilitas nilai tukar Rupiah yang
diperkirakan lebih tinggi dibandingkan volatilitas nilai tukar Ringgit pasca revaluasi.
Ketiga,
produk ekspor Indonesia didominasi oleh produk berbasis sumber daya alam yang
memiliki kandungan impor bahan baku yang relative rendah, sehingga dampak
apresiasi terhadap biaya material produk ekspor lebih kecil dibandingkan yang
akan terjadi di Malaysia. Ketiga faktor tersebut juga mempengaruhi lebih
besarnya dampak apresiasi Yuan terhadap penurunan inflasi dibandingkan dampak
penurunan inflasi dari apresiasi Rupiah.
Produktivitas merupakan faktor utama yang
mempengaruhi daya saing perdagangan global suatu negara secara berkelanjutan.
Semakin besar kontribusi produktivitas terhadap pertumbuhan ekonomi suatu
negara, semakin kecil dampak akselerasi pertumbuhan ekonomi terhadap inflasi. Perbandingan
level dan pertumbuhan produktivitas ketiga Negara tersebut terlihat dari gambar
2 dan 3 yang dihitung berdasarkan rasio PDB per pekerja dalam dolar AS
menggunakan tahun dasar 1990. Produktivitas China sebelum krisis nilai tukar
Asia masih 60% di bawah produktivitas Indonesia. Namun produktivitas negara itu
tumbuh lebih tinggi dibandingkan produktivitas Indonesia, bahkan mengalami akselerasi
pertumbuhan pasca 1997. Sebaliknya produktivitas Indonesia, yang mengalami penurunan
pada periode krisis, mulai meningkat kembali namun dengan laju pertumbuhan yang
lebih lambat. Akibatnya, pada 2003 produktivitas China sudah menyamai produktivitas
Indonesia. Jika tren ini berlanjut, ke depan produktivitas Indonesia akan
tertinggal dibanding produktivitas negara berpenduduk terbesar di dunia tersebut.
DAFTAR
PUSAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar