1. Pengertian Sistem Perekonomian
Sistem Perekonomian adalah
suatu sistem yang dijalankan oleh dunia usaha baik swasta maupun dalam negeri
dan diatur oleh suatu Negara/pemerintahan, dimana sistem tersebut dapat
dilakukan oleh suatu individu/ organisasi maupun kelompok tertentu dalam
menjalankan usaha tertentu dan mengalokasikan sumber daya yang ada.
2.
Jenis dari Sistem Perekonomian
Secara umum Sistem Perekonomian suatu negara dapat dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu Sistem Ekonomi Liberal, Sistem Ekonomi
Sosialis/Terpusat , dan Sistem Ekonomi Campuran.
A. Sistem Ekonomi Liberal
Sistem Ekonomi Liberal disebut juga
sistem ekonomi pasar bebas atau sistem ekonomi laissez faire. Sistem
ekonomi liberal adalah sistem perekonomian yang memberikan kebebasan sepenuhnya
dalamsegala bidang perekonomian kepada masing-masing individu untuk memperoleh
keuntungan yang sebesar-besarnya. Filsafat atau ideologi yang menjadi
landasan kepada sistem ekonomi liberal adalah bahwa setiap unit pelaku kegiatan
ekonomi diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang akan memberikan
keuntungan kepada dirinya, maka pada waktu yang sama masyarakat akan memperoleh
keuntungan juga. Dengan demikian setiap orang akan bebas bersaing dengan orang
lain dalam bidang ekonomi
1.Ciri-ciri
Sistem Ekonomi Liberal :
- Setiap orang bebas memiliki alat-alat produksi.
- Adanya kebebasan berusaha dan kebebasan bersaing.
- Campur tangan pemerintah dibatasi.
- Para produsen bebas menentukan apa dan berapa yang akan diproduksikan.
- Harga-harga dibentuk di pasar bebas.
- Produksi dilaksanakan dengan tujuan mendapatkan laba serta semua kegiatan ekonomi didorong oleh prinsip laba.
- Adanya kebebasan berusaha dan kebebasan bersaing.
- Campur tangan pemerintah dibatasi.
- Para produsen bebas menentukan apa dan berapa yang akan diproduksikan.
- Harga-harga dibentuk di pasar bebas.
- Produksi dilaksanakan dengan tujuan mendapatkan laba serta semua kegiatan ekonomi didorong oleh prinsip laba.
B. Sistem Ekonomi Sosialis
(Terpusat)
Sistem ekonomi sosialis disebut juga
sistem ekonomi terpusat. Mengapa disebut terpusat, Karena segala
sesuatunya harus diatur oleh negara, dan dikomandokan dari pusat.
Pemerintahlah yang menguasai seluruh kegiatan ekonomi.
Sistem perekonomian sosialis merupakan sistem
perekonomian yang menghendaki kemakmuran masyarakat secara merata
dan tidak adanya penindasan ekonomi. Untuk mewujudkan kemakmuran yang
merata pemerintah harus ikut campur dalam perekonomian. Oleh karena itu
hal tersebut mengakibatkan potensi dan daya kreasi masyarakat akan mati
dan tidak adanya kebebasan individu dalam melakukan kegiatan ekonomi.
1 Ciri-ciri
Sistem Ekonomi Sosialisi :
- Semua
sumber daya ekonomi dimiliki dan dikuasai oleh negara.
- Seluruh kegiatan ekonomi harus diusahakan bersama. Semua perusahaan milik negara sehingga tidak ada perusahaan swasta.
- Segala keputusan mengenai jumlah dan jenis barang ditentukan oleh pemerintah.
- Harga-harga dan penyaluran barang dikendalikan oleh negara.
- Semua warga masyarakat adalah karyawan bagi negara.
- Seluruh kegiatan ekonomi harus diusahakan bersama. Semua perusahaan milik negara sehingga tidak ada perusahaan swasta.
- Segala keputusan mengenai jumlah dan jenis barang ditentukan oleh pemerintah.
- Harga-harga dan penyaluran barang dikendalikan oleh negara.
- Semua warga masyarakat adalah karyawan bagi negara.
C. Sistem Ekonomi Campuran
Sistem ekonomi campuran merupakan campuran
atau perpaduan antara sistem ekonomi liberal dengan sistem ekonomi
sosialis. Masalah-masalah pokok ekonomi mengenai barang apa yang
akan diproduksi, bagaimana barang itu dihasilkan, dan untuk siapa
barang itu dihasilkan, akan diatasi bersama-sama oleh pemerintah dan
swasta.
Pada sistem ekonomi campuran pemerintah
melakukan pengawasan dan pengendalian dalam perekonomian, namun
pihak swasta (masyarakat) masih diberi kebebasan untuk
menentukan kegiatan-kegiatan ekonomi yang ingin mereka
jalankan. Adanya campur tangan dari pemerintah bertujuan untuk
menghindari akibat-akibat yang kurang menguntungkan dari sistem
liberal, antara lain terjadinya monopoli dari golongan-golongan masyarakat tertentu
terhadap sumber daya ekonomi.
1 Ciri-ciri
Sistem Ekonomi Campuran :
- Sumber-sumber daya yang vital dikuasai oleh pemerintah.
-
Pemerintah menyusun peraturan, perencanaan, dan
menetapkan kebijaksanaan-kebijaksanaan di bidang ekonomi.
- Swasta
diberi kebebasan di bidang-bidang ekonomi dalam batas kebijaksanaan
ekonomi yang ditetapkan pemerintah.
- Hak milik swasta atas alat produksi diakui, asalkan
penggunaannya tidak merugikan kepentingan
umum.
- Pemerintah bertanggung jawab atas jaminan sosial dan pemerataan pendapatan.
- Jenis dan jumlah barang diproduksi ditentukan oleh mekanisme pasar.
- Pemerintah bertanggung jawab atas jaminan sosial dan pemerataan pendapatan.
- Jenis dan jumlah barang diproduksi ditentukan oleh mekanisme pasar.
3. Perkembangan
Sistem Perekonomian Orde Reformasi
Pada masa krisis ekonomi, ditandai dengan tumbangnya
pemerintahan Orde Baru kemudian disusul dengan era Reformasi yang dimulai oleh
pemerintahan Presiden Habibie. Pada masa ini tidak hanya hal ketatanegaraan
yang mengalami perubahan, namun juga kebijakan ekonomi. Sehingga apa yang telah
stabil dijalankan selama 32 tahun, terpaksa mengalami perubahan guna
menyesuaikan dengan keadaan.
1. Masa Kepemimpinan B.J. Habibie
Pada awal pemerintahan reformasi, masyarakat umum dan
kalangan pengusaha dan investor, termasuk investor asing, menaruh pengharapan
besar terhadap kemampuan dan kesungguhan pemerintah untuk membangkitkan kembali
perekonomian nasional dan menuntaskan semua permasalahan yang ada di dalam
negeri warisan rezim orde baru, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN);
supremasi hukum; hak asasi manusia (HAM); Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan
II; peranan ABRI di dalam politik; masalah disintegrasi; dan lainnya.
Masa pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya
kerjasama dengan Dana Moneter Internasional untuk membantu dalam proses
pemulihan ekonomi. Selain itu, Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap
media massa dan kebebasan berekspresi.
Di bidang ekonomi, ia berhasil memotong nilai tukar
rupiah terhadap dollar masih berkisar antara Rp 10.000 – Rp 15.000. Namun pada
akhir pemerintahannya, terutama setelah pertanggungjawabannya ditolak MPR,
nilai tukar rupiah meroket naik pada level Rp 6500 per dolar AS nilai yang
tidak akan pernah dicapai lagi di era pemerintahan selanjutnya. Selain itu, ia
juga memulai menerapkan independensi Bank Indonesia agar lebih fokus mengurusi
perekonomian. Untuk menyelesaikan krisis moneter dan perbaikan ekonomi
Indonesia, BJ Habibie melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
• Melakukan
restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan melalui pembentukan BPPN (Badan
Penyehatan Perbankan Nasional) dan unit Pengelola Aset Negara
• Melikuidasi
beberapa bank yang bermasalah
• Menaikkan
nilai tukar rupiah terhadap dolar hingga di bawah Rp. 10.000,00
• Membentuk
lembaga pemantau dan penyelesaian masalah utang luar negeri
• Mengimplementasikan
reformasi ekonomi yang disyaratkan IMF
• Mengesahkan
UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan yang Tidak
Sehat
• Mengesahkan
UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pemerintahan presiden B.J.
Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang
cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk
mengendalikan stabilitas politik.
2. Masa Kepemimpinan K.H. Abdurrahman Wahid
(Gus Dur)
Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, pada
tahun 1999 kondisi perekonomian Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan.
Laju pertumbuhan PDB mulai positif walaupun tidak jauh dari 0% dan pada tahun
2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi dengan laju
pertumbuhan hampir mencapai 5%. Selain pertumbuhan PDB, laju inflasi dan
tingkat suku bunga (SBI) juga rendah yang mencerminkan bahwa kondisi moneter di
dalam negeri sudah mulai stabil.
Akan tetapi, ketenangan masyarakat setelah terpilihnya
Presiden Indonesia keempat tidak berlangsung lama. Presiden mulai menunjukkan
sikap dan mengeluarkan ucapan-ucapan kontroversial yang membingungkan
pelaku-pelaku bisnis. Presiden cenderung bersikap diktator dan praktek KKN di
lingkungannya semakin intensif, bukannya semakin berkurang yang merupakan salah
satu tujuan dari gerakan reformasi. Ini berarti bahwa walaupun namanya
pemerintahan reformasi, tetapi tetap tidak berbeda denga rezim orde baru. Sikap
presiden tersebut juga menimbulkan perseteruan dengan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) yang klimaksnya adalah dikelurakannya peringatan resmi kepada Presiden
lewat Memorandum I dan II. Dengan dikeluarkannya Memorandum II, Presiden
terancam akan diturunkan dari jabatannya jika usulan percepatan Sidang Istomewa
MPR jadi dilaksanakan pada bulan Agustus 2001.
Selama pemerintahan reformasi, praktis tidak ada satu
pun masalah di dalam negeri yang dapat terselesaikan dengan baik. Berbagai
kerusuhan sosial yang bernuansa disintegrasi dan sara terus berlanjut, misalnya
pemberontakan Aceh, konflik Maluku, dan pertikaian etnis di Kalimantan Tengah.
Belum lagi demonstrasi buruh semakin gencar yang mencerminkan semakin tidak
puasnya mereka terhadap kondisi perekonomian di dalam negeri, juga pertikaian
elite politik semakin besar.
Selain itu, hubungan pemerintah Indonesia dibawah
pimpinan Abdurrahman Wahid dengan IMF juga tidak baik, terutama karena masalah
amandemen UU No. 23 tahun 1999 mengenai Bank Indonesia; penerapan otonomi
daerah, terutama menyangkut kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar
negeri; dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda pelaksanaannya. Tidak
tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan IMF menunda pencairan bantuannya kepada
pemerintah Indonesia, padahal roda perekonomian nasional saat ini sangat
tergantung pada bantuan IMF. Selain itu, Indonesia terancam dinyatakan bangkrut
oleh Paris Club (negara-negara donor) karena sudah kelihatan jelas bahwa
Indonesia dengan kondisi perekonomiannya yang semakin buruk dan defisit
keuangan pemerintah yang terus membengkak, tidak mungkin mampu membayar kembali
utangnya yang sebagian besar akan jatuh tempo tahun 2002 mendatang. Bahkan,
Bank Dunia juga sempat mengancam akan menghentikan pinjaman baru jika
kesepakatan IMF dengan pemerintah Indonesia macet.
Ketidakstabilan politik dan social yang tidak semakin
surut selama pemerintahan Abdurrahman Wahid menaikkan tingkat country risk
Indonesia. Ditambah lagi dengan memburuknya hubungan antara pemerintah
Indonesia dan IMF. Hal ini membuat pelaku-pelaku bisnis, termasuk investor
asing, menjadi enggan melakukan kegiatan bisnis atau menanamkan modalnya di
Indonesia. Akibatnya, kondisi perekonomian nasional pada masa pemerintahan
reformasi cenderung lebih buruk daripada saat pemerintahan transisi. Bahkan,
lembaga pemeringkat internasional Moody’s Investor Service mengkonfirmasikan
bertambah buruknya country risk Indonesia. Meskipun beberapa indikator ekonomi
makro mengalami perbaikan, namun karena kekhawatiran kondisi politik dan
sosial, lembaga rating lainnya (seperti Standard & Poors) menurunkan
prospek jangka panjang Indonesia dari stabil ke negatif.
Kalau kondisi seperti ini terus berlangsung, tidak
mustahil tahun 2002 ekonomi Indonesia akan mengalami pertumbuhan jauh lebih
kecil dari tahun sebelumnya, bahkan bisa kembali negatif. Pemerintah tidak
menunjukkan keinginan yang sungguh-sungguh (political will) untuk menyelesaikan
krisis ekonomi hingga tuntas dengan prinsip once and for all. Pemerintah
cenderung menyederhanakan krisis ekonomi dewasa ini dengan menganggap
persoalannya hanya terbatas pada agenda masalah amandemen UU Bank Indonesia,
desentralisasi fiskal, restrukturisasi
utang, dan divestasi BCA dan Bank Niaga. Munculnya berbagai kebijakan
pemerintah yang controversial dan inkonsistens, termasuk pengenaan bea masuk
impor mobil mewah untuk kegiatan KTT G-15 yang hanya 5% (nominalnya 75%) dan
pembebasan pajak atas pinjaman luar negeri dan hibah, menunjukkan tidak adanya
sense of crisis terhadap kondisi riil perekonomian negara saat ini.
Fenomena makin rumitnya persoalan ekonomi ditunjukkan
oleh beberapa indikator ekonomi. Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
antara 30 Maret 2000 hingga 8 Maret 2001 menunjukkan growth trend yang
negatif. Dalam perkataan lain, selama
periode tersebut IHSG merosot hingga lebih dari 300 poin yang disebabkan oleh
lebih besarnya kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan
saham di dalam negeri. Hal ini mencerminkan semakin tidak percayanya pelaku
bisnis dan masyarakat terhadap prospek perekonomian Indonesia, paling tidak
untuk periode jangka pendek indikator kedua yang menggambarkan rendahnya
kepercayaan pelaku bisnis dan masyarakat terhadap pemerintah reformasi adalah
pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Seperti yang dapat kita lihat
pada grafik di bawah ini, pada awal tahun 2000 kurs rupiah sekitar Rp7.000,-
per dolar AS dan pada tanggal 9 Maret 2001 tercatat sebagai hari bersejarah
sebagai awal kejatuhan rupiah, menembus level Rp10.000,- per dolar AS. Untuk
menahan penurunan lebih lanjut, Bank Indonesia secara agresif terus melakukan
intervensi pasar dengan melepas puluhan juta dolar AS per hari melalui
bank-bank pemerintah. Namun, pada tanggal 12 Maret 2001, ketika Istana Presiden
dikepung para demonstran yang menuntut Presiden Gus Dur mundur, nilai tukar
rupiah semakin merosot.
Pada bulan April 2001 nilai tukar rupiah terhadap
dolar AS sempat menyentuh Rp12.000,- per dolar AS. Inilah rekor kurs rupiah
terendah sejak Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia.
Lemah dan tidak stabilnya nilai tukar rupiah tersebut
sangat berdampak negatif terhadap roda perekonomian nasional yang bisa
menghambat usaha pemulihan, bahkan bisa membawa Indonesia ke krisis kedua yang
dampaknya terhadap ekonomi, sosial, dan politik akan jauh lebih besar daripada
krisis pertama. Dampak negatif ini terutama karena dua hal. Pertama,
perekonomian Indonesia masih sangat tergantung pada impor, baik untuk
barang-barang modal dan pembantu, komponen dan bahan baku, maupun barang-barang
konsumsi. Kedua, utang luar negeri (ULN) Indonesia dalam nilai dolar AS, baik
dari sektor swasta maupun pemerintah, sangat besar.
Indikator-indikator lainnya adalah angka inflasi yang
diprediksi dapat menembus dua digit dan cadangan devisa yang pada minggu
terakhir Maret 2000 menurun dari 29 milyar dolar AS menjadi 28,875 dolar AS.
Rangkuman
keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman
Wahid memiliki karakteristik sebagai berikut:
• Dibandingkan
dengan tahun sebelumnya, kondisi perekonomian Indonesia mulai mengarah pada
perbaikan, di antaranya pertumbuhan PDB yang mulai positif, laju inflasi dan
tingkat suku bunga yang rendah, sehingga kondisi moneter dalam negeri juga
sudah mulai stabil.
• Hubungan
pemerintah dibawah pimpinan Abdurahman Wahid dengan IMF juga kurang baik, yang
dikarenakan masalah, seperti Amandemen UU No.23 tahun 1999 mengenai bank
Indonesia, penerapan otonomi daerah (kebebasan daerah untuk pinjam uang dari
luar negeri) dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda.
• Politik dan
sosial yang tidak stabil semakin parah yang membuat investor asing menjadi
enggan untuk menanamkan modal di Indonesia.
• Makin
rumitnya persoalan ekonomi ditandai lagi dengan pergerakan Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) yang cenderung negatif, bahkan merosot hingga 300 poin,
dikarenakan lebih banyaknya kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian
dalam perdagangan saham di dalam negeri.
Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun,
belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari
keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru
harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme),
pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs
rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan
kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh
presiden Megawati.
3. Masa Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami
masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan
penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi
persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
• Meminta
penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club
ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
• Kebijakan
privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode
krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi
kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu
berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan
ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke
perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan
korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali
untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan
nasional.
Meski ekonomi Indonesia mengalami banyak perbaikan,
seperti nilai mata tukar rupiah yang lebih stabil, namun Indonesia pada masa
pemerintahannya tetap tidak menunjukkan perubahan yang berarti dalam
bidang-bidang lain.
4. Masa Kepemimpinan Susilo Bambang
Yudhoyono
Pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid I (Era SBY- JK) = (2004-2009)
Masa
Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial yaitu
mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan
ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM
dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang
mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan
kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi
masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan
pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial. Kebijakan yang ditempuh untuk
meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur
massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing
dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya
Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang
mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.
Menurut Keynes,
investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini
mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan
bagi investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah revisi
undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di
Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Selain itu,
pada periode ini pemerintah melaksanakan beberapa program baru yang dimaksudkan
untuk membantu ekonomi masyarakat kecil diantaranya PNPM Mandiri dan Jamkesmas.
Pada prakteknya, program-program ini berjalan sesuai dengan yang ditargetkan
meskipun masih banyak kekurangan disana-sini.
Pada
pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF
sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi
mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun
wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya
laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan
jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi
39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006.
Hal ini
disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan
ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di
SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi.
Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan
kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi
pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang
investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih kurang
kondusif.
Namun, selama masa pemerintahan SBY, perekonomian
Indonesia memang berada pada masa keemasannya. Indikator yang cukup menyita
perhatian adalah inflasi.
Sejak tahun 2005-2009, inflasi berhasil ditekan pada
single digit. Dari 17,11% pada tahun 2005 menjadi 6,96% pada tahun 2009.
Tagline strategi pembangunan ekonomi SBY yang berbunyi pro-poor, pro-job, dan
pro growth (dan kemudian ditambahkan dengan pro environment) benar-benar
diwujudkan dengan turunnya angka kemiskinan dari 36,1 juta pada tahun 2005,
menjadi 31,02 juta orang pada 2010. Artinya, hampir sebanyak 6 juta orang telah
lepas dari jerat kemiskinan dalam kurun waktu 5 tahun. Ini tentu hanya imbas
dari strategi SBY yang pro growth yang mendorong pertumbuhan PDB.
Imbas dari pertumbuhan PDB yang berkelanjutan adalah
peningkatan konsumsi masyarakat yang memberikan efek pada peningkatan kapasitas
produksi di sector riil yang tentu saja banyak membuka lapangan kerja baru.
Memasuki tahun
ke dua masa jabatannya, SBY hadir dengan terobosan pembangunannya berupa master
plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3 EI). Melalui
langkah MP3EI, percepatan pembangunan ekonomi akan dapat menempatkan Indonesia
sebagai negara maju pada tahun 2025 dengan pendapatan perkapita antara UsS
14.250-USS 15.500, dengan nilai total perekonomian (PDB) berkisar antara USS
4,0-4,5 triliun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar